Minggu, 24 Oktober 2010

Globalisasi dan Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas–batas negara.[1]
Globalisasi sangat populer di semua kalangan masyarakat, mulai dari kalangan akademisi, pelajar, profesional, pejabat pemerintahan samapi mastarakat umum. Sedang kalangan masyarakat yang tidak mengenal istilah itu secara sadar atau tidak sesungguhnya sedang hidup dan berada pada zaman globalisasi. Jadi globalisasi adalah zaman atau kondisi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun.[2]
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara–negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara–negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara–negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang–bidang lain seperti budaya dan agama.
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke–20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad–abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih–benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M.[3]
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain–lain. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia.[4]
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.[5]
Idealnya setiap warga negara harus tahu hak dan kewajiban dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta memahami atribut–atribut kenegaraan seperti lambang negara dan berbagai peraturan perundangan. Sebagaimana diketahui dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta kaitannya dengan masalah globalisasi.[6]
Mengurus negara yang sangat luas dengan rakyat yang sangat banyak dan multikultur akan sangat sulit jika dilakukan secara sentralisasi (terpusat) oleh pemerintah pusat saja. Adanya pengaturan secara terpusat menjadikan lemahnya kemandirian pemerintah di daerah dalam mengem bangkan potensi daerah. Para pendiri negara telah mengamanatkan dalam Pasal 1 UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Negara kesatuan bukan berarti bahwa mengelola negara itu hanya hak dan tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga hak dan tugas pemerintah daerah. Untuk lebih menciptakan peran nyata daerah dalam pembangunan nasional maka dilaksanakanlah otonomi daerah.[7]
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan system penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara aduk.
  1. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangakan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut.
  2. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan mandiri sedangkan dalam makna luas sebagai berdaya. Jadi otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.[8]
Proses desentraslisasi dan pemberian otonomi daerah adalah proses yang tak terelakkan, imperatif harus dilaksanakan bila kita tetap ingin mempertahankan kesatuan bangsa dan negara kita. Proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah untuk memberdayakan daerah lahir dari suatu paradigma pemerintahan era reformasi.[9]
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor–faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang–bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang–bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.[10]
Dengan diberlakukannya Undang–Undang No. 22 Tahun 1999, kemudian diganti dengan Undang–Undang No. 32 Tahun 2004, mengandung makna pemerintah pusat tidak lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerah–daerah. Kewenangan mengatur, dan mengurus rumah tangga daerah diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat di daerah. Dengan demikian, pemerintah pusat hanya sebagai supervisor, pemantau, pengawas, dan pengevaluasi.[11]
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapatlah diidentifikasikan beberapa masalah yaitu sebagai berikut :
  1. Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ?
  2. Apa saja prinsip–prinsip otonomi daerah ? 
  3. Apa sajakah dampak positif dan negatif  dari globalisasi ?
  4. Bagaimana perkembangan globalisasi ? 
  5. Apa saja ciri–ciri globalisasi ?
C.     Pembatasan Masalah
Karena bidang cakupan yang cukup luas serta adanya berbagai keterbatasan yang ada baik waktu, dana maupun jangkauan sehingga dalam penelitian tidak semua dapat ditinjak lanjuti. Untuk itu dalam penelitian ini dibatasi oleh masalah globalisasi yang mempengaruhi otonomi daerah.
 D.    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah serta pembatasan masalah yang telah di uraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : “Adakah pengaruh globalisasi terhadap otonomi daerah ?”
E.     Tujuan  dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan dalam penelitian, antara lain yaitu : 
  1. Tujuan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar Pengaruh globalisasi terhadap otonomi daerah 
  2. Untuk memecahkan masalah–masalah yang ada pengaruhnya globalisasi terhadap otonomi daerah.
  3. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti sendiri guna meningkatkan profesionalisme di bidang penelitian.
  4. Hasil penelitian ini berguna untuk memenuhi tugas Seminar Persiapan Skripsi.
 BAB II
KERANGKA TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A.    Deskripsi Teori
1.      Hakikat Otonomi Daerah
Secara etimologi, istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti “mengatur dan mengurus”. Jadi, kata otonomi dapat diartikan sebagai pengaturan perundang–undangan sendiri atau pemerintahan sendiri. Dalam otonomi bukan berarti kewenangan atau kebebasan yang diberikan dapat dilakukan dengan sebebas–bebasnya, melainkan kebebasan yang di dalamnya melekat kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan.[12]
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang–undangan.[13]
Wewenang untuk mengurus urusan rumah tangganya sendirinya inilah yang disebut dengan hak otonomi. Terdapat banyak pengertian tentang otonomi berdasarkan sudut pandang masing–masing pakar, yang sebagai berikut :
1)      Prof. Soepomo, memandang otonomi sebagai prinsip penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai dengan riwayat, adat istiadat, dan sifat–sifatnya dalam kadar negara kesatuan RI.
2)      Price dan Mueller, memandang otonomi sebagai seberapa banyak dan luas otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki suatu organisasi/pemerintahan. Semakin banyak dan luas otoritas pengambilan keputusan, maka semakin tinggi tingkat otonominya.
3)      The Liang Gie, melihat dari empat sudut, yaitu :
a)      Sudut politik, yakni tidak hanya sebagai permainan kekuasaan yang dapat mengarah pada penumpukan kekuasaan yang seharusnya kepada penyebaran kekuasaan, tetapi juga sebagai tindakan pendemokrasian untk melatih diri dalam mempergunakan hak–hak demokrasi.
b)      Sudut teknik organisatoris sebagai cara untuk menerapkan dan melaksanakan pemerintahan yang efisien.
c)      Sudut kultural, yaitu perhatian terhadap keberadaan atau khusus kedaerahan.
d)     Sudut pembangunan, yaitu otonomi secara langsung memperhatikan dan memperlancar serta meratakan pembangunan.[14]
Van der Pot, memahami konsep otonomi daerah sebagai menjalankan rumah tangga sendiri. Otonomi adalah pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam peyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan.
Porsi otonomi daerah menurut Lacia, tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah ang seluas–luasnya. Konsep pemerintahan otonomi yang seluas–luasnya merupakan salah satu upaya untuk menghindari ide negara federal. Cakupan otonomi seluas–luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Di sisi lain, Soehino bepandangan bahwa cakupan otonomi seluas–luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen berpendapat bahwa otonomi daerah seluas–luasnya bukan tanpa batas sehingga mereakan negara kesatuan. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara.[15]
Sesuai Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang–undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas–batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[16]
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang–Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih–alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1.         Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community–based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2.         Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM–LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.[17]
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut. Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah–daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan.
Sebaliknya, bagi daerah–daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah–daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.  Selain karena kurangnya kesiapan daerah–daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah :[18]
1.         Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumber daya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
2.         Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.

3.         Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar–besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
4.         Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang–barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5.         Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.[19]
Ada beberapa hal yang menjadi prinsip di dalam otonomi daerah, antara lain :
1.          Otonomi adalah pemberian keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah secara mandiri ( self governing ) sesuai situasi, kondisi, dan karakteristik daerah dalam lingkup wilayah negara. Otonomi berkaitan dengan kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
2.          Otonomi daerah menjalankan otonomi seluas–luasnya dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintahan Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk member pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
3.          Dalam menerapkan otonomi seluas–luasnya, didasarkan pada prinsip otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dinamis, dan serasi. Otonomi nyata berarti bahwa pemberian otonomi daerah harus didasarkan pada faktor–faktor keadaan setempat yang memang benar–benar dapat menjamin daerah bersangkutan mampu secara nyata mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi yang bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian otonomi benar–benar sejalan dengan tujuannya untuk melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, yang pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.[20]
Otonomi yang dinamis dalam arti bahwa otonomi daerah tidak tetap, tetapi dapat berubah, bertambah apabila pemerintah pusat menambah penyerahan urusannya kepada daerah, dan berkurang apabila urusan daerah yang bersangkutan sudah menyangkut urusan nasional atau daerah tidak mampu lagi mengurusi urusan yang sudah diserahkan, maka urusan tersebut dapat ditarik menjadi urusan pemerintah pusat kembali. Otonomi yang serasi dalam arti bahwa pelaksanaan pembangunan tetap dijaga keseimbangan antara daerah dan pemerintah pusat agar tidak terjadi ketimpangan satu daerah dengan daerah lain. Otonomi daerah diselenggarakan untuk menjamin keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
4.          Dalam menjalankan otonomi daerah, baik pemerintah pusat maupun daerah memegang teguh prinsip berkeadilan dan berkeadaban, kegotongroyongan membangun kesejahteraan daerah dan masyarakat, permusyawaratan dan meniadakan ketimpangan sosial–ekonomi serta ketimpangan antar daerah.[21]
2.      Hakikat Globalisasi
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.[22] Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk–bentuk interaksi yang lain sehingga batas–batas suatu negara menjadi semakin sempit.  Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.[23]
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko–eksistensi dengan menyingkirkan batas–batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[24] Jadi globalisasi adalah suatu keadaan yang mengarah kepada sesuatu yang mendunia. Bandingkan dengan kata–kata yang menggunakan sasi, seperti organisasi, mekanisasi, sosialisasi dan lain–lain.
Adapun konsep globalisasi menurut pendapat para ahli adalah :
a.       Malcom Waters
Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma didalam kesadaran orang.
b.      Emanuel Ritcher
Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar–pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia.
c.       Thomas L. Friedman
Globlisasi memiliki dimensi ideologi dan teknologi. Dimensi teknologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia.
d.      Princenton N. Lyman
Globalisasi adalah pertumbuhan yang sangat cepat atas saling ketergantungan dan hubungan antara Negara–negara didunia dalam hal perdagangan dan keuangan.
e.       Leonor Briones
Demokrasi bukan hanya dalam bidang perniagaan dan ekonomi namun juga mencakup globalisasi institusi–institusi demokratis, pembangunan sosial, hak asasi manusia, dan pergerakan wanita.[25]
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi :
·         Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing–masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
·         Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
·         Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
·         Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
·         Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing–masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara–negara.[26]
Globalisasi juga dicirikan oleh munculnya lembaga – lembaga governance global yang mempunyai kekuasaan mempengaruhi kebijakan melebihi kemampuan negara bangsa.
Kavaljit Singh menjelaskan bahwa proses globalisasi dewasa ini ditandai oleh lima perkembangan pokok, yaitu :
1.      Pertumbuhan transaksi keuangan internasional yang cepat;
2.      Pertumbuhan perdagangan yang cepat, terutama perusahan–perusahaan multinasional;
3.      Gelombang investasi asing langsung (FDI) yang mendapat dukungan luas dari kalangan perusahaan multinasional;
4.       Timbulnya pasal global; dan
5.      Penyebaran teknologi dan berbagai pemikiran sebagai akibat dari ekspansi sistem transportasi dan komunikasi yang cepat dan meliputi seluruh dunia.[27]
Dan globalisasi itu memiliki ciri–ciri yang menandakan semakin berkembang globalisasi di dunia, yaitu perubahan dalam konsep ruang dan waktu dalam berbagai dimensi. Ada tiga ciri pokok globalisasi yaitu :
1.      Pasar dan produksi ekonomi di negara–negara yang berbeda menjadi saling bergantung.
2.      Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa.
3.      Meningkatnya masalah bersama.
Dari perkembangan globalisasi mempunyai dampak negatif dan positifnya. Dampak negatif dari globalisasi yaitu cenderung menaikkan barang–barang impor. Apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Walaupun banyak dampak negatinya, globalisasi menurut Tanri Abeng ada juga positifnya, yaitu :
1.      Globalisasi produksi
2.      Globalisasi pembiayaan
3.      Globalisasi tenaga kerja
4.      Globalisasi jaringan informasi
5.      Globalisasi perdagangan[28]
Dari hal tersebut tampak bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang niscaya dalam sistem kapitalisme, artinya keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme sehingga mendiskusikan globalisasi tanpa menyertakan kapitalisme di dalamnya adalah sesuatu yang terasa tidak lengkap.[29]
B.     Kerangka Berpikir
Globalisasi merupakan suatu proses yang mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak tampak lagi adanya batas–batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol.
Idealnya setiap warga negara harus tahu hak dan kewajiban dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta memahami atribut–atribut kenegaraan seperti lambang negara dan berbagai peraturan perundangan. Sebagaimana diketahui dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah serta kaitannya dengan masalah globalisasi.
C.     Pengajuan Hipotesa
Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian dalam penelitian ini dapat dirumuskan bahwa adanya pengaruh globalisasi terhadap otonomi daerah.
  
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data empiris mengenai ada tidaknya pengaruh globalisasi terhadap otonomi daerah.
B.     Tempat dan Waktu Penelitian
Ø  Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di desa lemahabang kulon sindang laut Cirebon.
Ø  Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada saat semester ganjil pada tahun 2011 selama 3 bulan terhitung sejak bulan Februari–Mei.
C.     Metode Penelitian
Berdasarkan variabel yang diteliti, masalah yang dirumuskan dan hipotesis yang diajukan, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah globalisasi, sedangkan variabel terikatnya otonomi daerah. Metode ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh globalisasi (variabel bebas) dengan simbol X terhadap otonomi daerah (variabel terikat) dengan simbol Y.
D.    Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Control Group Post test only design atau post tes kelompok kontrol. Desain ini subjek ditempatkan secara random kedalam kelompok–kelompok dan diekspose sebagai variabel independen diberi post test. Nilai–nilai post test kemudian dibandingkan untuk menentukan keefektifan tretment.
E.     Populasi dan Sampel Penelitian
Ø  Populasi
Populasi penelitian menurut Suharsimi (1998:115) adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi (1984:70) populasi penelitian adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran generalisasi dan sampel–sampel yang akan diambil dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa lemahabang kulon.
Ø  Sampel Penelitian
Sampel penelitian menurut Suharsimi (1998:117) adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan sampel random dengan sistem undian dengan maksud agar setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian.
F.      Variabel Penelitian
Variabel Bebas      : Globalisasi
Variabel Terikat    : Otonomi daerah
G.    Teknik Pengumpulan Data dan Instrument Penelitian
Ø  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah dengan survei yang dilakukan dalam melakukan penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara, dengan tujuan untuk mengetahui : siapa mereka, apa yang mereka pikir, rasakan, atau kecenderungan suatu tindakan.
Ø  Instrument Penelitian
Untuk mendapatkan data mengenai globalisasi digunakan skala perilaku dari  Likert. Alternatif jawaban pada skala perilaku adalah Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pernyataan dibuat dalam bentuk positif dan negatif. Jika pertanyaan tersebut di buat positif, maka alternative jawaban Sangat Setuju (SS) di beri skor 5, Setuju (S) di beri skor 4, Netral (N) diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) di beri skor 2 dan Sangat Tidak Setuju (STS) di beri skor 1. Sedangkan jika pernyataan tersebut berbentuk negatif, maka pemberian skor adalah sebaliknya.
H.    Teknik Analisis Data
Dengan melihat karakteristik data yang akan di ambil yaitu untuk melihat pengaruh antara variabel globalisasi dengan otonomi daerah, maka teknik analisa data yang digunakan adalah dengan rumus Product Moment. Adapun rumusnya sebagai berikut:
Keterangan :
rxy             = koefisien product moment
∑X                        = jumlah skor dalam sebaran X
∑Y                        = jumlah skor dalam sebaran Y
∑XY         = jumlah hasil kali skor X dan Y yang berpasangan
∑X2          = jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran X
∑Y2          = jumlah skor yang dikuadratkan dalam sebaran Y
N               = banyaknya skor X dan Y yang berpasangan ( banyak subyek )